Riwayat Singkat RA. Kartini



Sewaktu RA Kartini dilahirkan,ayahnya masih berkedudukan sebagai Wedono
Mayong,sedangkan ibunya adalah seorang wanita berasal dari Desa Teluk awur yaitu Mas Ajeng Ngasirah yang berstatus Garwo Ampil. RMAA Sosroningrat ayah RA Kartini menikah pada tahun 1872 dan RA Kartini lahir pada tahun 1879 sebagai anak kelima dari RMAA Sosroningrat dan urutan keempat dari ibu kandung Mas Ajeng Ngasirah. Sedang Eyang RA Kartini dari pihak ibunya adalah seorang ulama besar pada zaman itu, bernama Kyai Haji Modirono dan Hajjah Siti Aminah. Isteri kedua dari ayahnya yang berstatus Garwo Padmi adalah putrid bangsawan yang dikawini pada tahun 1875 keturunan langsung bangsawan tinggi Madura yaitu Raden Ajeng Woeryan anak dari RAA Tjitrowikromo yang memegang jabatan Bupati Jepara sebelum RMAA Sosroningrat. Perkawinan dari kedua isterinya itu telah membuahkan putra sebanyak 11 (sebelas) orang.
Mula pertama udara segar yang dihirup RA Kartini adalah udara desa yaitu sebuah desa di Mayong yang terletak 22 km sebelum masuk jantung kota Jepara. Di sinilah ia dilahirkan oleh seorang ibu dari kalangan rakyat biasa yang dijadikan garwo ampil oleh Wedono Mayong RMAA Sosroningrat. Anak yang lahir itu adalah seorang bocah kecil dengan mata bulat berbinar-binar memancarkan cahaya cemerlang seolah menatap masa depan yang penuh tantangan. Hari demi hari beliau tumbuh dalam suasana gembira, dia ingin bergerak bebas, berlari kian kemari, hal yang menarik baginya ia lakukan meskipun dilarang. Karena kebebasan dan kegesitannya bergerak kian mendapat julukan “TRINIL” dari ayahnya. Kemudian setelah kelahiran RA Kartini yaitu pada tahun 1880 lahirlah adiknya RA Roekmini dari garwa padmi. Pada tahun 1881 RMAA Sosroningrat diangkat sebagai Bupati Jepara dan beliau bersama keluarganya pindah ke Rumah Dinas Kabupaten di Jepara.
Pada tahun yang sama lahir pula adiknya yang diberi nama RA Kardinah sehingga si trinil senang dan gembira dengan kedua adiknya sebagai teman bermain. Lingkungan Pendopo Kabupaten yang luas lagi megah itu semakin memberikan kesempatan bagi kebebasan dan kegesitan setiap langkah RA Kartini.Sifat serba ingin tahu RA Kartini inilah yang menjadikan orang tuanya semakin memperhatikan perkembangan jiwanya. Memang sejak semula RA Kartini paling cerdas dan penuh inisiatif disbanding dengan saudara perempuan lainnya. Dengan sifat kepemimpinan RA kartini yang mencolok, jarang terjadi perselisihan diantara mereka bertiga yang dikenal dengan nama “TIGA SERANGKAI” meskipun dia agak diistimewakan dari yang lain.


Saat mulai menginjak bangku sekolah “EUROPESE LAGERE SCHOOL” terasa bagi RA Kartini sesuatu yang menggembirakan karena sifat yang ia miliki dan kepandaiannya yang menonjol RA Kartini cepat disenangi teman-temannya. Kecerdasan otaknya dengan mudah dapat menyaingi anak-anak Belanda baik pria maupun wanitanya, dalam Bahasa Belanda pun RA Kartini dapat diandalkan.
Menjelang kenaikan kelas disaat liburan pertama, NY. OVINK SOER dan suaminya mengajak RA Kartini beserta adik-adiknya Roekmini dan Kardinah menikmati keindahan pantai bandengan yang letaknya 7 km ke utara Kota Jepara, yaitu sebuah pantai yang indah dengan hamparan pasir putih yang memukau sebagaimana yang sering digambarkan lewat surat-suratnya kepada teman-temannya STELLA di negeri Belanda, Kartini dan kedua adiknya mengikuti Ny. Ovink Soer mencari karang sambil berkejaran menghindari ombak, kepada RA Kartini ditanyakan apa nama pantai tersebut dan dijawab dengan singkat yaitu pantai Bandengan.
Kemudian Ny. Ovink Soer mengatakan bahwa di Hollandpun ada ada sebuah pantai yang hamper sama dengan Bandengan namanya “Klein Scheveningen” secara spontan mendengar itu RA Kartini menyela…..”kalau begitu kita sebut saja pantai bandengan ini dengan nama Klein Scheveningen”.Selang beberapa tahun kemudian setelah selesai pendidikan di Europese Lagere School, RA Kartini berkehendak ke sekolah yang lebih tinggi, namun timbul keraguan di hati RA Kartini karena terbentur pada aturan adat apalagi bagi kaum ningrat bahwa wanita seperti dia harus menjalani pingitan.
Memang sudah saatnya RA Kartini memasuki masa pingitan karena usianya telah mencapai 12 tahun lebih, ini semua demi keprihatinan dan kepatuhan kepada tradisi ia harus berpisah dari dunia luar dan terkurung oleh tembok Kabupaten. Dengan semangat dan keinginannya yang tak kenal putus asa RA Kartini berupaya menambah pengetahuannya tanpa sekolah karena menyadari dengan merenung dan menangis tidaklah akan ada hasilnya, maka satu-satunya jalan untuk menghabiskan waktu adalah dengan tekun membaca apa saja yang didapat dari kakak dan juga dari ayahnya.Beliau pernah juga mengajukan lamaran untuk sekolah dengan bea siswa ke negeri Belanda dan ternyata dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja dengan berbagai pertimbangan maka beasiswa tersebut diserahkan pada putera lain yang namanya kemudian cukup terkenal yaitu H. Agus Salim.
Walaupun Kartini tidak berkesempatan melanjutkan sekolahnya, namun himpunan murid-murid pertama Kartini yaitu sekolah pertama gadis-gadis priyayi bumi putera telah dibina di serambi Pendopo belakang Kabupaten. Hari itu sekolah Kartini memasuki pelajaran apa yang kini dikenal dengan istilah Krida dimana RA Kartini sedang menyelesaikan lukisan dengan cat minyak. Murid-murid sekolahnya mengerjakan pekerjaan tangan masing-masing, ada yang menjahit dan ada yang membuat pola pakaian. Adapun Bupati RMAA Sosroningrat dan Raden Ayu tengah menerima kedatangan tamu utusan yang membawa surat lamaran dari Bupati Rembang Adipati Djoyodiningrat yang sudah dikenal sebagai Bupati yang berpandangan maju dan modern. Tepat tanggal 12 Nopember 1903 RA Kartini melangsungkan pernikahanya dengan Bupati Rembang tersebut dengan cara sederhana. Pada saat kandungan RA Kartini berusia 7 bulan, dalam dirinya dirasakan kerinduan yang amat sangat pada ibunya dan kota Jepara yang sangat berarti dalam kehidupanya. Suaminya telah berusaha menghiburnya dengan musik gamelan dan tembang-tembang yang menjadi kesayanganya, namun semua itu membuat dirinya lesu.
Pada tanggal 13 September 190 RA Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Singgih / RM Soesalit. Tetapi keadaan RA Kartini semakin memburuk meskipun sudah dilakukan perawatan khusus, dan akhirnya pada tanggal 17 September 1904 RA Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 25 tahun. Kini RA Kartini telah tiada, cita-cita dan perjuangannya telah dapat kita nikmati , kemajuan yang telah dicapai kaum wanita Indonesia sekarang ini adalah berkat goresan penanya semasa hidupnya yang kita kenal dengan buku “HABIS GELAP TERBITLAH TERANG”.

0 komentar: